SULTRA.KABARDAERAH.COM –
Isu nasional kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) berdampak terhadap harga minyak di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) khususnya para nelayan.
Akibatnya sejumlah masyarakat nelayan melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Bupati Wakatobi, Kecamatan Wangiwangi Selatan (Wangsel) Rabu, (25/05/2022). Mereka meminta solusi kepada Pemerintah Daerah (Pemda) terkait kelangkaan solar yang mengakibatkan harganya tinggi.
Pemda Kabupaten Wakatobi menyahuti dan langsung menggelar rapat di kantor Bupati Wakatobi sekaligus mengundang empat Agen Premium Minyak dan Solar (APMS) di daerah setempat. Namun hanya dihadiri oleh tiga APMS, yakni APMS Fajar Mekar, APMS Wandoka dan APMS Matahora.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Wakatobi Safiuddin mengatakan, pasca aspirasi yang disampaikan kelompok masyarakat terkait dengan nelayan, maka Pemerintah daerah (Pemda) segera menindaklanjuti dengan melaksanakan rapat, dan menghadirkan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan beberapa APMS.
“Jadi kami pastikan bahwa kami sudah memperoleh data kuota solar ataupun kuota BBM lain yang ada di setiap APMS. Dari situ kemudian kami juga sudah dapatkan data nelayan yang cukup akurat by name by address. Sehingga nanti kami akan bersama dengan DKP membuat pemetaan di APMS dan seberapa besar dia bisa mencukupi,” ujar Safiuddin, Sabtu (28/5/2022).
Pihaknya juga sudah menyepakati dengan pihak APMS, bahwa data itu kemudian akan dijadikan dasar ketika nelayan ingin mendapatkan kuota solar untuk kebutuhan usaha nelayannya.
“Data itu kemudian akan kita tindaklanjuti, termasuk jenis mesin yang digunakan nelayan. Sehingga betul-betul mendapat akurasi data, khususnya masyarakat setelah data itu ada lalu kita bagi. Kami mengundang semua APMS dan dari empat APMS namun satu APMS yang tidak hadir. Kami juga mengundang khususnya yang dari pangkalan minyak tanah termasuk pihak Kepolisian,” katanya.
Saifuddin menjelaskan, pihaknya sudah mendapatkan data solar seberapa banyak dan itu kemudian yang akan disesuaikan dengan data-data yang dimiliki oleh nelayan yang dinamakan kartu E-Kusuka.
Di kartu E-Kusuka, kata dia, untuk meneliti siapa, dimana alamatnya, apa jenis mesinnya. Sehingga bisa diketahui apakah kemudian yang bersangkutan benar-benar nelayan. Ia mengungkapkan bahwa itu sudah diverifikasi dan akan menjadi rujukan, sehingga kebutuhan nelayan benar-benar akan dihitung sesuai dengan kebutuhannya.
Dikonfirmasi soal berapa banyak kuota yang dibutuhkan nelayan, ia menyampaikan bahwa data itu sementara di pilah. Lanjut Safiuddin, katakanlah di Fajar mekar itu dalam sebulan itu ada 80 KL. 80 KL itu maka akan dibuat pemetaan, cakupan dari 80 KL itu di mana saja.
“Sehingga dari total nelayan misalnya di Wangsel itu 2.600 lebih, itu yang kemudian nantinya akan dipilah. Lalu kita akan jelaskan bahwa dimana jatah itu mereka harus ambil. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih misalnya dia nelayan di Mola tapi kemudian ambilnya di APMS Waelumu, kita akan pilah seperti itu dan saya kira Inshaallah ini akan bisa lebih tertib,” pungkasnya.
Sementara itu Pelaksana tugas Kepala DKP Wakatobi Mulyanto mengungkapkan, kartu E-Kusuka berlaku di APMS manapun di Wakatobi khususnya nelayan kecil Gross tonnage (GT) 5 ke bawah.
“Memang di APMS ini ada juga regulasinya bahwa di samping E-Kusuka juga ada rekomendasi dari OPD terkait atau syahbandar perikanan. Terkait kuota itu tergantung dengan jumlah nelayan di wilayah APMS itu,” ungkapnya.
Sebelumnya, pengunjuk rasa menuding lemahnya pengawasan Dinas Perindag mengakibatkan kelangkaan semua jenis BBM terutama solar sehingga menjadi mahal.
Menurut salah seorang pengunjuk rasa, Roziq mengungkapkan, BBM jenis solar dibeli nelayan dari pengecer dengan harga kadang sampai lebih dari Rp200 ribu per jerigen 20 liter. Sedangkan BBM jenis pertalite yang dijual pengecer per botol biasanya dijual seharga Rp10 ribu kini dijual dengan harga Rp15 ribu sampai Rp20 ribu.
Minyak tanah yang biasanya dijual dengan harga Rp12.000 ribu per satu setengah liter kini dijual hingga harga Rp20 ribu sampai Rp25 ribu.
Pengunjuk rasa lainnya, Ali Munir juga menambahkan, lemahnya kinerja Dinas Perindag Safiuddin untuk mengawasi BBM dinilai bukan baru saat ini saja, namun sejak 2019. Ini dibuktikan dengan adanya surat kesepakatan bersama antara sejumlah stakeholder untuk memantau BBM, namun menurutnya itu tidak mampu dilaksanakan. (cw1)
Discussion about this post