SULTRA.KABARDAERAH.COM –
Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) secara resmi membuka acara puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 di pelataran Marina Togo Mowondu Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (9/6/2022).
Presiden mengatakan sejak tahun 2015, berkali-kali ia memerintahkan dan menegaskan kembali di kesempatan itu bahwa betapa pentingnya sertifikat.
“Karena kita melihat tumpang tindih pemanfaatan lahan, semuanya harus diselesaikan. Tidak boleh lagi ada sengketa lahan,” katanya.
Setiap kali ke daerah, ke desa maupun kampung-kampung, lanjutnya, selalu persoalan sengketa lahan dan sengketa tanah selalu ada. Sehingga menurutnya, itu juga menimbulkan kekhawatiran pada investasi.
Kata Jokowi, dari 126 juta yang harusnya memegang sertifikat, tahun 2015 itu baru 46 juta. Artinya, 80 juta penduduk Indonesia menempati lahan tetapi tidak memiliki hak hukum atas tanah yang namanya sertifikat.
“Dan yang lebih menjengkelkan lagi justru yang gede-gede diberikan. Tapi begitu yang kecil-kecil 200 meter persegi saja, entah itu hak milik atau Hak Guna Bangunan (HGB) tidak bisa diselesaikan,” ungkapnya.
“Kita baru sadar betul bahwa memang inilah persoalan dasarnya. Setahun hanya 500 ribu, oleh sebab itu pada saat itu 2015 saya perintah pada Menteri ATR/BPN saya minta 5 juta, rampung. Saya minta di tahun selanjutnya 7 juta, rampung, selanjutnya lagi saya minta 9 juta, saya cek selesai. Artinya kita ini bisa melakukan, bisa mengerjakan tetapi tidak pernah kita lakukan. Melompat dari 500 ribu ke 9 juta, setahun nyatanya bisa sehingga sampai sekarang ini dari 46 juta sudah naik menjadi 80,6 juta sertifikat hak milik,” lanjutnya.
Menurut Jokowi, sekarang ada tambahan lagi, karena di lapangan banyak persoalan-persoalan yang khusus dan spesifik di pulau-pulau kecil. Misalnya, suku Bajo hidup di atas air, berikan hak milik, ternyata ributnya itu antar Kementerian.
“Nda bisa pak ini diberi karena ini adalah hak Kementerian KKP, gak bisa diberikan. KLHK juga seperti itu, gak bisa ini pak karena kawasan hutan lindung karena di situ ada coral dan terumbu karang, itu hak kami. Ributnya hanya masalah gitu-gitu dari dulu, termasuk urusan sertifikat. Di Kabupaten/Kota, Provinsi di pusat tidak bekerja secara terintegrasi, jalan sendiri-sendiri egonya sendiri-sendiri. Kalau di terus-teruskan gak akan rampung persoalan bangsa dan negara,” tambahnya. (cw1)
Discussion about this post